“Time doesn’t exist, clocks do. – unknown”
Kutipan diatas saya temukan dipersilangan Internet.
Mereka bilang, waktu itu tidak ada, kemudian manusia yang menciptakan.
Dunia, bumi, berputar begitu saja sesuai siklusnya, 24 jam katanya.
Tapi toh kalo 24 jam itu gak ada, bumi akan tetap berputar, hingga diperintahkan untuk berhenti.
Sadar atau tidak, berapa banyak manusia yang terperangkap dengan ‘waktu’nya sendiri.
Manusia budak waktu, mereka bilang waktu adalah uang, ditukarkan dengan sejumlah kehidupan mereka.
Seandainya 24 jam itu tidak ditemukan, masih kah manusia akan ribut kehilangan waktu? Kekurangan waktu? Sibuk menyesuaikan kehidupan mereka dengan waktu, mengejar waktu?
Kalau seandainya ‘waktu’ tidak diciptakan, apa manusia tidak bisa bekerja, tidak bisa hidup, hanya tau Jam berapa sekarang? Jam pagi, jam siang, jam malam.”
Manusia sekarang terbiasa diatur, oleh aturan yang diciptakan mereka sendiri.
Saya punya cerita sendiri tentang waktu.
Dari kecil aku tidak terbiasa menggunakan aksesoris yang menempel ditubuh, termasuk jam tangan.
Saya tahu tentang waktu, terutama hari minggu, dari serial animasi yang ditayangkan ditelevisi. Jam 7 adalah saatnya Ultraman beraksi. Jam 8 adalah dimana tayangan Doraemon berakhir. Jam 9 adalah saatnya Detective Conan muncul dan tengah hari adalah dimana seluruh tayangan tersebut habis, baru saya makan dan mandi. Boleh dibilang, saya adalah penjaga waktu yang handal, saya adalah jam berjalan.
Sampai kapanpun saya gak pernah pakai jam tangan, melihat jam sekenanya dari layar handphone atau melirik jam dinding, selebihnya saya tidak terlalu tertarik.
Hingga akhirnya saya harus ujian OSCE, katanya kalo OSCE haru pakai jam tangan yang ada detiknya. Ya sudah saya pun minta dibelikan papa. Untuk apa? Kata papa waktu itu, untuk ujian, yang ada detiknya ya jawabku (maksudnya jam digital).
Jangan kalian pikir jam tangan yang dibelikan adalah jam cantik yang banyak dipakai perempuan atau jam yang berkilau-kilau begitu atau jam berwarna cerah dan indah. Jam yang dibelikan papa, jam digital Casio, warnanya hitam, bentuknya kecil, ketika dipakai dipergelangan tanganku sangat pas, saya merasa keren. Terima kasih papa. Sama-sama, semoga ujiannya lancar terus, katanya.”
Saya lebih suka memakai jam tangan secara terbalik, dimana bagian penunjuk waktunya berada menutupi nadi pergelangan tangan, pun dengan aksesoris lain, misalkan gelang.
Jamnya selalu kupakai kalau OSCE, iya, cuma kalo OSCE atau SOCA (tapi lama-lama lupa) atau ujian tulis kalau ingat untuk memakainya. Harian, cuma saya taruh dikotaknya. Barang berharga untuk saya gak pernah saya pamerin, pasti saya simpan ditempat yang aman, dan hanya beberapa yang bisa ikut menikmati.
Jumat 7 Februari 2014 kemarin merupakan OSCE terakhir saya selama pre-klinik, Alhamdulillah tidak terlalu banyak mengalami kesulitan saat ujian, sebelum ujian sudah banyak kesulitan menimpa saya, errr, kecuali satu stase dimana saya buyar karena ke-tidak-profesional-an saya, errr. Pro-justica, p-pro- j-juss-ttica, prrojusticciya, pro-justicia …………………. Afasia motorik sesaat, ada apa dengan area Broca saya?
Setelah OSCE saya berakhir, jam tangan saya putus menjadi 3 bagian, dibagian pengikatnya.
secara anatomy rusak, secara fisiologis masih baik. hiks
Apakah jam tangan saya tahu bahwa tugasnya sudah berakhir?
Rasanya saya memang tidak terlalu menyukai ‘waktu’, tapi karena saya hidup didunia penuh aturan, saya rasa nanti pasti saya butuh jam tangan juga, tapi nanti. Saat ini belum ada yang menarik.
Ah, kecuali dengan pocket watch, itu cantik sekali. Saya membelinya di toko, dengan ornament bunga mawar kesukaan saya. Hehe.
untuk aku yang enggan memakai jam tangan,
tapi selalu bertanya Jam berapa sekarang?
Ya begitulah cerita saya dengan sang penjaga waktu.
Sampai jumpa dilain waktu.
Jakarta 09 Februari 2014 ; jam berapa sekarang?